Minggu, 13 Februari 2011

PERMEN KARET ANTIPLAK GIGI BERBAHAN AKTIF MINYAK ATSIRI JAHE MERAH (Zingiber officinale Roscoe)


RINGKASAN

Tingkat prevalensi plak gigi di Indonesia terbilang tinggi, yaitu mencapai 70-80% sehingga menjadikan masalah kesehatan gigi dan mulut tertinggi keenam yang dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Selain mengurangi estetika, jika terjadi penumpukan plak gigi secara berkala dapat menimbulkan karies gigi dan peradangan gusi (Marsh, 2006). Upaya yang disosialisasikan auntuk mengatasi masalah plak gigi diantaranya dengan mengajak untuk menyikat gigi dua kali sehari, penggunaan mouthwash, kunjungan rutin ke dokter, konsumsi rendah asam dan gula. Pasta gigi, mouthwash, dan permen karet antiplak merupakan beberapa sediaan yang telah ditawarkan di pasaran. Tetapi alternatif sediaan sekarang ini masih menggunakan bahan aktif dari senyawaan sintetis. Dari sudut pandang kesehatan, ketergantungan pada senyawa sintetis jelas membawa resiko tidak aman untuk kesehatan. Selain itu bahan aktif yang digunakan masih merupakan bahan import yang masih relatif mahal.
Indonesia kaya akan flora alam. Mengurangi ketergantungan pada bahan sintetis dan beralih pada pemanfaatan dan optimasi Sumber Daya Alam Indonesia dapat menjadi solusi tepat yang dapat dikaji. Jahe merah termasuk kekayaan herbal Indonesia yang dapat menjadi solusi agen antiplak berbasis bahan alam. Hal ini didasarkan pada penelitian Irianto (2010) yaitu minyak atsiri rimpang segar jahe merah memiliki aktivitas antibakteri dan antiplak-biofilm S.mutans paling potensial dibandingkan minyak atsiri rimpang temulawak, kencur, lempuyang wangi dan buah kapulaga. Minyak atsiri jahe merah dapat digunakan sebagai antiplak gigi karena mampu menghambat pembentukan plak-biofilm S.mutans dan mendegradasi plak-biofilm S.mutans yang telah terbentuk, serta dapat mengatasi gingivitis. Ketersediaan jahe merah di Indonesia cukup melimpah sebagaimana dapat ditemukan di Imogiri, Bantul, Yogyakarta merupakan salah satu dasar yang mendukung pemikiran memilih jahe merah.
 Bahan aktif memerlukan suatu alternatif sediaan yang praktis, diterima oleh masyarakat luas, dan mudah didistribusikan. Salah satu sediaan yang dapat menjawab tantangan tersebut adalah permen karet. Permen karet membantu perlekatan bahan aktif lebih lama di gigi. Sediaan ini telah diterima masyarakat luas,  karena memberikan rasa rileks, mengatasi kejenuhan, mengurangi kantuk,dan dengan mengunyahnya saja dapat sebagai olah raga wajah.
Bahan pemanisnya tidak menggunakan gula maupun pemanis sintetik melainkan stevia. Stevia digunakan dalam sediaan ini karena non kalori, memiliki tingkat kemanisan 70-400 kali dari gula tebu, dengan rasa khas pemanis alami. Stevia juga mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan organisme yang menyebabkan infeksi, termasuk penyakit gigi dan gusi. Aktivitas yang sinergis mendukung pembuatan permen karet sebagai anti-plak gigi. Stevia telah dibudidayakan di Indonesia dan dijual dalam produk siap pakai.
Pelaksanaan gagasan ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak diantaranya petani jahe merah sebagai pemasok bahan baku utama juga sebagai produsen  minyak atsiri sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Selain itu juga dosen pembimbing dan pemerintah, dalam hal ini Dikti dengan program kreativitas mahasiswanya, agar gagasan ini dapat terealisasikan dan dikenal oleh masyarakat luas serta dapat mengatasi masalah kesehatan gigi dan mulut yang selama ini dikeluhkan oleh Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.




Latar Belakang
Plak gigi merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang terjadi akibat pertumbuhan mikroba mulut yang membentuk suatu biofilm (Marsh, 2006). Prevalensi plak gigi di Indonesia yang dilaporkan dalam profil Kesehatan Gigi dan Mulut pada Pelita VI mencapai 70-80%. Selain mengurangi estetika, jika terjadi penumpukan plak gigi secara berkala dapat menimbulkan karies gigi dan peradangan gusi atau gingivitis. Di Indonesia, angka kejadian karies gigi berkisar antara 85%-99%, sedangkan gingivitis menyerang 75-90% populasi di seluruh dunia.
Biofilm sendiri merupakan akumulasi dari pertumbuhan planktonik mikroba yang terdiri atas satu spesies atau lebih yang menempel dan menutupi suatu permukaan padat (Nobile & Mitchell, 2007). Badan Kesehatan Nasional (Bethesda, Maryland, USA) memperkirakan bahwa biofilm menyebabkan lebih dari 80% penyakit infeksi (Schachter, 2003). Biofilm mulut menyimpan bakteri patogen yang merupakan kontributor utama faktor virulensi terkait dengan penyakit sistemik seperti pnemunie dan kardiovaskular (Li dkk., 2000).
Perawatan kesehatan gigi dan mulut dapat dilakukan dalam tiga bentuk: mekanis dengan menyikat gigi dan menggunakan benang gigi (dental floss), kimiawi dengan menggunakan obat kumur antiseptik dan pengolesan flour, serta diet yang rendah asam dan gula. Membiasakan menyikat gigi minimal dua kali sehari sesudah makan dan sebelum tidur memang perlu tapi tidak cukup untuk menjaga kesehatan gigi secara menyeluruh. Penggunaan obat kumur antiseptik juga dapat menghambat pembentukan plak gigi secara cepat. Namun, sediaan tersebut berasal dari bahan-bahan sintetis kimia yang pastinya ada keuntungan juga ada kekurangannya. Bahan sintetis memang cenderung memberikan efek terapi yang cepat. Tapi untuk beberarapa orang yang memiliki sensitivitas tinggi berkumur dengan senyawa kimia akan menyebabkan iritasi lokal juga sensasi rasa keras dari larutan mouthwash. Sebelumnya banyak dimanfaatkan xilitol, fluoride, dan triclosan yang memang efektif cepat membunuh kuman mulut. Tetapi penggunaan fluoride dalam konsentrasi tinggi dan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping fluorosis email, pewarnaan gigi, dan terganggunya ekologi flora normal mulut (Dea, 2003; Pan dkk, 2003). Ketiga bahan tersebut juga merupakan produk import sehingga masih relatif mahal untuk diproduksi sendiri (Pratiwi, 2005). Sehingga beberapa sediaan mulai memanfaatkan herbal sebagai bahan aktif antiplak gigi.
Sebagian besar tumbuhan temu-temuan telah diteliti memiliki aktivitas dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Munculnya plak gigi juga berawal dari pertumbuhan mikroba patogen yang ada di mulut. Jahe merah termasuk di dalamnya, merupakan salah satu kelompok jahe yang telah dibudidayakan di Indonesia. Jahe telah dikenal luas masyarakat Indonesia, digunakan sebagai bumbu tradisional maupun dibentuk dalam sediaan makanan. Keberadaannya hampir meluas di seluruh wilayah Indonesia karena temu-temuan khususnya jahe merah mudah tumbuh di tanah tropis. Selain mudah didapat, murah, manfaat jahe merah juga beragam. Dalam gagasan ini, dimanfaatkan minyak atsiri dari jahe merah sebagai pencegah plak gigi.
Minyak atsiri jahe merah telah dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri dan antibiofilm Streptococcus mutans (Irianto, 2010). S.mutans adalah mikroba mulut yang paling dominan dijumpai pada plak gigi. Mekanisme aksi minyak atsiri yaitu membunuh mikroorganisme dengan merusak dinding sel dan menghambat reaksi enzimatik sehingga dapat mencegah agregasi bakteri dan memperlambat perbanyakan sel (Ouhayoun, 2003). Secara umum, dikenal tiga macam jenis jahe, yaitu jahe putih besar, jahe putih kecil, dan jahe merah. Dari ketiga jenis jahe tersebut dilaporkan yang memiliki rendemen minyak atsiri terbanyak adalah jahe merah (Rostiana dkk., 2005). Maka dari itu digunakan jahe merah dengan dasar semakin banyak kandungan minyak atsiri akan meningkatkan efektivitas dan aktivitas antiplak gigi.
Pemanfaatan minyak atsiri sebagai agen anti plak membutuhkan suatu media sediaan. Sediaan yang umum beredar berupa pasta gigi, mouthwash, dan permen karet. Dari ketiga jenis sediaan tersebut, yang dimungkinkan paling praktis, digemari masyarakat luas, dan banyak manfaat dalam sekali pakai adalah sediaan permen karet. Minyak atsiri jahe merah sebagai bahan aktif akan melindungi gigi dengan membunuh bakteri penyebab plak, dan menghambat reaksi enzimatik yang mendemineralisasai gigi sehingga mencegah terjadinya plak serta mengurangi karies gigi. Sedangkan fungsi permen karetnya bisa sebagai penghilang stres dan media olah raga mulut.
Pemanfaatan herba dapat menjadi solusi pengurangan ketergantungan produk dari bahan sintetis. Penggunaan pemanis alami juga dapat menjadi alternatif baru menggantikan pemanis buatan yang biasa dipakai dalam permen karet. Tujuannya untuk mengurangi efek samping dari pemanis sintetik sehingga produk yang dihasilkan memenuhi kualitas mutu kesehatan. Pemanis alami yang digunakan adalah pemanis stevia. Pemanis alami non kalori ini juga telah dibudidayakan di Indonesia dan telah diolah menjadi produk pemanis siap pakai dalam skala industri maupun pasaran.
Pemberdayaan produk bebasis bahan alam seperti penggunaan jahe merah dan stevia akan mengoptimasi sumber daya alam herbal di Indonesia juga meningkatkan sumber daya manusia untuk pihak-pihak yang terkait dalam produksi ini. Untuk para petani jahe akan mendapatkan wawasan baru mengenai standarisasi penanaman tumbuhan herbal yang baik dan produksi minyak atsiri secara mandiri. Pengolahan bahan dasar jahe merah menjadi minyak atsiri juga akan menambah lahan pekerjaan setempat dan menjadi bahan pengolahan baru bagi industri permen karet sehingga tercipta inovasi baru dalam produksi permen karet antiplak yang berbahan alam asli Indonesia. Pemberdayaan ini akan melibatkan dan menguntungkan semua pihak di dalamnya.
 
Tujuan dan Manfaat
Penulisan karya tulis ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1.        Menawarkan alternatif pengatasan plak gigi berbahan aktif dari alam Indonesia.
2.        Membentuk sediaan permen karet berbahan aktif jahe merah dan stevia sebagai inovasi dan kreasi produk antiplak gigi.

Penulisan karya tulis ke depannya memberi manfaat antara lain :
1.      Menciptakan produk permen karet yang bersifat semi medisinal beraktivitas antiplak gigi.
2.      Mengoptimasi pemanfaatan jahe merah di wilayah penghasil bahkan menyebar ke lingkup wilayah lebih luas.
3.      Mengurangi ketergantungan produk bahan sintetik dan beralih ke produk berbahan aktif alami yang lebih aman dan sehat.
4.      Memberdayakan masyarakat terutama untuk para petani jahe merah sekaligus memberikan lahan optimasi dengan menerapkan sistem penyulingan sederhana sehingga dapat memproduksi minyak atsiri jahe merah secara mandiri.
5.      Memperluas pasar penjualan minyak atsiri jahe merah bagi para produsen (petani jahe merah), selain sebagai bahan dasar produk permen karet antiplak, juga dapat dijual ke toko-toko aromaterapi atau rumah sakit.



GAGASAN
Plak Gigi
Hampir semua anak dan orang dewasa pada umumnya menyukai makanan manis, seperti permen, coklat, biskuit, dan sejenisnya. Khususnya dalam produksi permen, produk ini sengaja dibuat dengan warna yang beraneka ragam dan variasi rasa yang banyak untuk menarik minat anak. Padahal hal yang perlu diwaspadai adalah yang justru menjadi alasan utama anak-anak menyukai permen yaitu rasa manis dari gula sintetisnya dan flavor yang memberi rasa pada permen, kebanyakan contoh adalah flavor buah.
Gula dan sisa-sisa makanan pada mulut dapat menyebabkan penyakit gigi dan mulut. Berdasarkan survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001, penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit tertinggi keenam yang dikeluhkan masyarakat Indonesia. Kerusakan gigi terutama disebabkan karena banyaknya bakteri yang terakumulasi pada gigi. Bakteri yang paling dominan ditemukan pada plak-biofilm di rongga mulut adalah Streptococcus mutans (Loesche, 1996). Bakteri-bakteri tersebut merupakan bakteri tahan asam (acidophile) yang akan memfermentasikan dextran (polimer glukosa) dari sisa makanan yang merupakan nutrisi bagi mikroba mulut, membentuk lapisan biofilm yang kemudian disebut plak gigi (Marsh, 2006).
Biofilm sendiri merupakan akumulasi dari pertumbuhan planktonik mikroba yang terdiri atas satu spesies atau lebih bakteri maupun jamur yang menempel dan menutupi suatu permukaan padat (Nobile & Mitchell, 2007). Badan Kesehatan Nasional (Bethesda, Maryland, USA) memperkirakan bahwa biofilm menyebabkan lebih dari 80% infeksi (Schachter, 2003). Biofilm mulut menyimpan bakteri patogen sebagai kontributor utama faktor virulensi yang terkait dengan penyakit sistemik seperti penyakit paru-paru, pneumonia dan penyakit jantung (Li dkk., 2000).
Secara klinis plak gigi adalah lapisan tipis transparan yang dapat dilihat secara visual jika telah mengalami pewarnaan (Glickman, 1972). Masalah kesehatan mulut seperti plak gigi perlu mendapat perhatian khusus. Prevalensi plak gigi di Indonesia yang dilaporkan dalam profil Kesehatan Gigi dan Mulut pada Pelita VI mencapai 70-80%. Selain mengurangi estetika, jika terjadi penumpukan plak gigi secara berkala dapat menimbulkan karies gigi yang bersifat patologis dan peradangan gusi atau gingivitis (Marsh, 2006).
Dampak penyakit karies tersebut merupakan penyakit infeksi yang diderita oleh hampir 95% populasi di dunia. Menurut data WHO (2003), prevalensi karies tertinggi terdapat di terdapat di Asia dan Amerika Latin sedangkan prevalensi terendah terdapat di Afrika. Di Amerika Serikat, karies merupakan penyakit kronis anak-anak yang sering terjadi dan tingkatnya lima kali lebih tinggi dari asma. Data Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit tersebut menempati peringkat keenam sebagai penyakit yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia dan prevalensinya mencapai 60-80% dari populasi, sedangkan gingivitis menyerang 75-90% populasi di seluruh dunia. Angka kesakitan gigi juga cenderung meningkat pada setiap dasawarsa sekitar 70% dari awalnya (Sariningrum, 2009). Keadaan geografis Indonesia yang sangat bervariasi menyebabkan terdapat daerah yang belum ada pelayanan serta kurangnya penyuluhan mengenai masalah kesehatan gigi dan mulut.
Cara pandang tentang kesehatan gigi dan mulut mulai bergeser. Dulu orang beranggapan bahwa menyikat gigi dua kali sehari saja sudah cukup, oleh karena fakta-fakta di atas maka saat ini dirasakan perlu melakukan tindakan yang lebih menyeluruh, termasuk melakukan kunjungan rutin ke dokter, konsumsi rendah asam dan gula serta perbaikan struktur gigi dan lain-lain. Senyawa sintesis fluor selama ini dipercaya efektif untuk mengontrol plak gigi, tetapi penggunaan fluoride dalam konsentrasi tinggi dan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping fluorosis email, pewarnaan gigi, dan terganggunya ekologi flora normal mulut. Selain itu bahan-bahan sintetik yang digunakan masih diimpor dengan harga relatif mahal (Pratiwi, 2005).

Sediaan Antiplak Gigi
Sediaan antiplak yang umum beredar di pasaran saat ini diantaranya pasta gigi, mouthwash, dan permen karet. Pasta gigi dinilai dapat membantu mengatasi plak gigi secara mekanik, namun dengan sikat gigi saja tidak dapat mengatasi plak gigi maupun membersihkan sisa makanan yang menempel pada gigi secara keseluruhan, selain penggunaannya yang kurang praktis. Sediaan lain adalah mouthwash yang dianggap lebih praktis dan efektif dibanding dengan pasta gigi karena mampu mencapai bagian celah dari gigi yang tidak terjangkau oleh pasta gigi. Mouthwash secara sederhana merupakan sediaan yang tersusun oleh zat aktif, pelarut, dan pemanis. Pelarut yang digunakan sebagian menggunakan alkohol lebih dari 10%. Sehingga terkadang sediaan ini menimbulkan rasa perih pada gusi dan pipi bagian dalam akibat dari iritasi alkohol. Penyebab perih penggunaan juga tergantung pada zat aktif yang digunakan, dimana kebanyakan bahan sintetik bersifat asam juga iritan. Penggunaan mouthwash juga dibatasi untuk anak di atas 12 tahun, sebab ditakutkan anak-anak di bawah umur belum mengerti aturan pakainya yang seharusnya hanya untuk berkumur tetapi ditelan yang berakibat bisa menyebabkan keracunan akibat bahan-bahan kimia yang terkandung. Harga sediaan yang masih relatif mahal juga menyebabkan mouthwash belum terlalu membudaya di Indonesia.

Permen Karet
Sediaan permen karet telah diterima masyarakat luas, baik hanya untuk menikmati aromanya maupun karena memiliki banyak manfaat diantaranya dapat memberikan rasa rileks, mengurangi stres, mengatasi kejenuhan, mengurangi kantuk, meningkatkan konsentrasi, dan membuat kulit wajah menjadi lebih kencang. Asumsi-asumsi tersebut dikarenakan dengan mengunyah permen karet akan melatih pergerakan rahang sehingga dapat menstimulasi otot-otot di wajah, melancarkan peredaran darah ke otak dan otak akan menerima banyak oksigen, dengan kata lain mengunyah permen karet merupakan salah satu olahraga mulut.
Penelitian University of Northumbria dan Cognitive Research Unit (Reading) di Inggris menunjukkan bahwa kegiatan mengunyah permen karet dapat meningkatkan kemampuan mengingat kata-kata sampai 35 persen. Hal ini dikarenakan saat mengunyah permen karet akan meningkatkan detak jantung yang mengakibatkan lebih banyak oksigen dan nutrisi yang dipompa ke otak sehingga proses ini merangsang bagian otak yang berhubungan dengan daya ingat.
Sebuah penelitian di Rumah Sakit St Mary, London yang melibatkan 158 pasien menyebutkan pasien yang telah menjalani operasi usus guna mengembalikan fungsi saluran cerna lebih cepat dapat dilakukan kegiatan mengunyah permen karet. Suatu uji klinis telah dilakukan terhadap pasien yang mengunyah permen karet 5-45 menit tiga kali sehari setelah operasi dibandingkan dengan pasien yang tidak mengunyah permen karet. Normalnya fungsi saluran pencernaan pasca operasi ditandai dengan buang angin. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien yang mengunyah permen karet akan mengeluarkan gas atau buang angin rata-rata 0,66 kali dibandingkan yang tidak mengunyah sekitar 1,10 kali gas, artinya kegiatan mengunyah permen karet dapat mempercepat fungsi saluran cerna menjadi normal.
Kini sediaan permen karet tanpa gula mulai beralih fungsi menjadi semi medikal yaitu dapat menggantikan kegiatan menggosok gigi setelah makan. Hal ini dikarenakan saat mengunyah permen karet akan menstimulasi produksi air liur sehingga dapat menetralkan asam hasil fermentasi makanan oleh bakteri mulut dan mencegah pengeroposan gigi akibat pertumbuhan bakteri patogen mulut di atas 40%. Selain itu, keberadaan permen karet sendiri akan membantu mengangkat dan membersihkan kotoran yang tersisa pada gigi serta melindungi gigi dari kerusakan sehingga dapat digunakan sebagai salah satu sediaan antiplak gigi. Oleh karena itu, akan sangat menarik bila dibuat suatu produk permen karet berbasis bahan alam seperti jahe merah yang dapat digunakan sebagai antiplak gigi.

Pembuatan Permen Karet
Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam sediaan permen karet antiplak di antaranya bahan aktif 1%, gum base 20%, gom arab 5%, pemanis 54%, gliserin 5%, dan akuadest secukupnya. Sedangkan bahan-bahan untuk menyalut permen karet meliputi shellac 2%, carnauba wax 10%, titanium dioksida dan spiritus fortior secukupnya. Proses pembuatannya pun cukup sederhana dan dapat dilakukan dalam skala kecil atau home industry.
Gum base berfungsi untuk mengatur konsistensi permen, mengatur daya gigit dan kekerasan serta memberikan tekstur kenyal, mengatur kelembutan dan daya lengket di mulut. Sejak 1959, gliserin diakui sebagai satu diantara bahan yang aman oleh Food and Drug Administration. Gliserin memiliki banyak manfaat dalam pembuatan makanan, kosmetik, obat-obatan. Satu diantaranya adalah untuk memperoleh kehalusan, viskositas dan kilauan yang diinginkan dalam permen karet.
Gom arab diambil dari cairan atau getah pohon jenis akasia terutama Acacia Senegal, banyak terdapat di afrika terutama di daerah Senegal, sudan sampai somalia. Gum arab komersial bebentuk bubuk, berwarna putih, dan bersifat larut dalam air membentuk cairan yang kental, merupakan campuran komplex dari sakarida dan glikoprotein. Gum arab digunakan sebagai pengental atau penyetabil produk-produk permen karet.
Carnauba Wax diperoleh dari daun pohon palma carnauba (Copernica cerifera), terutama tumbuh di Brazil. Pohon ini mengeluarkan bahan semacam lilin pada daunnya dan kemudian dijadikan carnauba wax. Carnauba wax komersial berbentuk serpihan atau bubuk, berwarna kuning sampai coklat, tersusun dari ester asam lemak, bersifat tidak larut dalam air. Carnauba wax digunakan untuk menyalut permen karet sehingga permen terlihat lebih licin dan mengkilap.
Shellac digunakan untuk melindungi zat aktif agar tidak dirusak oleh pelarut yang digunakan saat proses penyalutan. Proses penyalutan dan pewarna seperti titanium dioksida diperlukan guna meningkatkan nilai estetika dari permen karet yang dihasilkan. Pewarna tersebut akan menghasilkan warna putih pada permen karet sehingga akan memberikan kesan bersih dan sehat.
Cara-cara pembuatannya secara sekilas dapat dilakukan dan relatif mudah. Gum base, gom arab, pemanis, gliserin, titanium dioksida dicampur menggunakan blender. Kemudian campuran tersebut ditambah dengan bahan aktif. Massa permen karet yang terbentuk dipanaskan dalam panci di atas air mendidih (dapat menggunakan waterbath) hingga mencapai suhu ± 550C selama 20 menit. Setelah massa tersebut didiamkan hingga mencapai suhu kamar, selanjutnya dibentuk sesuai selera. Proses penyalutan dilakukan dengan membuat larutan penyalut terlebih dahulu yaitu dengan melarutkan shellac, carnauba wax, dan titanium dioksida daam spiritus fortior. Larutan tersebut kemudian disemprotkan ke permukaan permen karet hingga tersalut seluruhnya (Hwang, 2004). Permen karet yang telah jadi dikemas untuk meningkatkan nilai estetika dan mempermudah pendistribusiannya.

Stevia sebagai Pemanis Permen Karet Antiplak Gigi
Telah disebutkan bahwa pemanis merupakan bahan substansial dalam hampir semua industri produk pangan, termasuknya produk permen karet. Kebanyakan pemanis yang digunakan merupakan pemanis buatan yang dibuat melalui hasil sintesis kimiawi dalam skala industri. Pada dasarnya pemanis buatan memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi yaitu berkisar 30 sampai dengan ribuan kali lebih manis dibanding sukrosa. Alasan ekonomis menjadikan industri khususnya pangan akan lebih memilih untuk menggunakan bahan sintetis ini. Pemanis buatan yang paling sering digunakan di antaranya aspartam, sakarin, siklamat, dan sebagainya. Propaganda mengenai pengunaan pemanis buatan umumnya dikaitkan dengan isu-isu kesehatan, seperti pengaturan berat badan, pencegahan kerusakan gigi, dan bagi penderita diabetes dinyatakan dapat mengontrol peningkatan kadar glukosa darah. Namun demikian, pemanis buatan tetaplah merupakan bahan sintetis yang tidak selamanya aman bagi kesehatan.
Kajian digestif dari Monsanto menunjukkan bahwa aspartam dimetabolisme dan terurai secara cepat menjadi asam amino, asam aspartat, fenilalanin, dan metanol, sehingga dapat meningkatkan kadar fenilalanin dalam darah. Oleh karena itu, aspartam tidak baik digunakan bagi penderita fenilktouria. Aspartam juga dapat menimbulkan gangguan tidur dan migrain bagi yang sensitif (Usmiati dan Yuliani, 2004). Sedangkan untuk sakarin, pemanis ini memang tidak dimetabolisme oleh tubuh, lambat diserap usus, dan cepat dikeluarkan melalui urin, tetapi menurut Usmiati dan Yuliani (2004), sakarin sendiri dapat menyebabkan dermatologis kulit bagi anak-anak yang alergi terhadap sulfa, dapat memicu pertumbuhan tumor, dan memiliki potensi karsinogenik. Pada tahun 1977, FDA sempat melarang penggunaan sakarin, dan saat ini walaupun sakarin telah dinyatakan aman, tetapi di USA penggunaan sakarin masih sangat dibatasi (Kroger et al., 2006). Di Indonesia sendiri, batas maksimum kadar penggunaan pemanis buatan pada produk permen karet masih lebih tinggi dibandingkan di Eropa dan Amerika. Untuk penggunaan aspartam, perbandingan jumlah di Indonesia dengan Eropa dan Amerika hampir 2:1. Dampak negatif dari dua contoh pemanis buatan di atas dapat mewakili gambaran bahwa mengkonsumsinya merupakan suatu hal yang beresiko bagi kesehatan.
Baru-baru ini telah ditemukan pemanis alami dari ekstrak daun stevia rebaudiana (Eupatorium rebaudianum Bertoni), dimasukkan dalam genus Stevia. Poduk pemanis ini merupakan pemanis alami non kalori yang memiliki tingkat kemanisan 70-400 kali dari gula tebu. Rasa manis stevia berbeda dengan pemanis buatan yang pada sensasi akhir memunculkan rasa pahit. Rasa manis stevia terletak pada molekul kompleksnya yang disebut steviosida yang merupakan glikosida disusun dari glukosa, soforosa dan steviol.
Stevia baik digunakan bagi umum maupun penderita diabetes, hipoglikemik, maupun obesitas. Efek tersebut terjadi karena gula stevia memiliki kemampuan untuk meregulasi gula darah menjadi normal. Stevia juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan organisme yang menyebabkan infeksi, termasuk penyakit gigi dan gusi. Oleh karena itu, penggunaan stevia sebagai bahan pemanis dalam permen karet dapat mendukung tujuan pembuatan permen karet yaitu sebagai anti-plak gigi.
Walaupun masih tergolong baru, penggunaan stevia merupakan langkah besar yang positif bagi industri gula non kalori serta sebagai bahan dasar industri makanan dan minuman ataupun obat tradisional. Di Indonesia tanaman stevia telah dibudidayakan bahkan gula stevia telah diproduksi dan beredar di pasaran. Alasan selain mempertimbangkan aspek kesehatan, pemanfaatan stevia juga bisa meningkatkan pemasukan perekonomian daerah setempat sebagai penghasil bahan baku stevia maupun gula stevia sehingga dapat menciptakan masyarakat yang sehat juga ekonomi mandiri.

Jahe Merah

Indonesia merupakan negara tropis kaya akan flora alam. Hampir 30.000 spesies tumbuh di tanah Indonesia dan lebih dari 940 spesies telah dikaji memiliki khasiat sebagai obat. Bahkan seiring perkembangan waktu lewat penelitian ilmiah masih akan menambah daftar jumlah spesies herbal di Indonesia. Fakta yang mengagumkan ini harus bisa dimanfaatkan secara maksimal khususnya dalam bidang kesehatan. Dalam konteks kasus antiplak gigi, telah diteliti bahwa spesies dari golongan temu-temuan (Zingiberaceae) memiliki aktivitas untuk menghambat pertumbuhan bakteri, termasuk di dalamnya adalah jahe (Zingiber officinale Roscoe) (Backer & Van Den Brink, 1965).
Umumnya dikenal 3 macam jahe yakni jahe putih besar, jahe putih kecil, dan jahe merah. Jahe putih besar memiliki rimpang yang lebih besar dan ruas rimpangnya lebih menggembung dari kedua macam lainnya. Jahe putih kecil memiliki ruas rimpang kecil agak rata sampai sedikit menggembung. Jahe merah memiliki rimpang berwarna merah dan lebih kecil dari pada jahe putih kecil (Anonim, 1978). Ketersediaan jahe merah di Indonesia cukup melimpah. Menurut Irianto (2010) budidaya jahe merah dapat ditemukan di Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Secara umum, komponen metabolit yang terkandung dalam jahe terdiri dari minyak atsiri, oleoresin, dan pati. Minyak atsiri jahe merah memiliki aroma khas aromatik sesuai tanaman asalnya dan berwarna kuning kehijauan hingga kemerahan (Gildemeister, 1916). Aroma minyak atsiri jahe disebabkan adanya zingiberol, sedangkan rasa pedasnya disebabkan adanya gingerol. Komponen minyak atsiri yang lainnya adalah suatu monoterpen hidrokarbon dan monoterpen alkohol  (α-pinen, borneol, limonena) (Guzman & Siemonsma, 1999). Jahe merah banyak dipilih sebagai bahan obat tradisional karena memberikan rasa lebih pahit dan pedas dibanding macam jahe lain maka akan menambah khasiat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, jahe merah sangat cocok untuk dijadikan bahan dasar farmasi.
Jahe selain dikenal sebagai bumbu dalam masakan juga dapat digunakan sebagai obat tradisional diantaranya untuk mengatasi mabuk perjalanan, menghangatkan tubuh, dan peluruh masuk angin. Sediaan obat, makanan dan minuman yang mengandung jahe telah beredar di pasaran dan banyak digemari oleh masyarakat Indonesia. Sediaan yang mengandung jahe diantaranya tablet hisap, wedang jahe, sirup, minuman kaleng, permen, namun sampai saat ini belum ditemukan adanya sediaan permen karet antiplak dengan bahan aktif jahe.
 
Minyak Atsiri Jahe Merah sebagai Bahan Aktif Permen Karet Antiplak Gigi
Minyak atsiri merupakan campuran zat yang mudah menguap dengan komposisi dan titik didih berbeda-beda (Guenther, 1947). Minyak atsiri dilaporkan dapat membunuh mikroorganisme karena dapat merusak dinding sel dan menghambat reaksi enzimatik sehingga akan mencegah proliferasi sel dan agregasi bakteri (Ouhayoun, 2003).
Minyak atsiri jahe memiliki aktivitas antikaries gigi terhadap Streptococcus mutans dan Lactobacillus acidophilus (Windarto dkk., 1994). Jahe merah memiliki kandungan minyak atsiri yang paling tinggi diantara macam jahe yang lain yaitu 2,58 – 3,90%. Rimpang jahe putih besar mengandung 0,82 – 2,8% minyak atsiri, sedangkan jahe putih kecil mengandung 1,50 – 3,50% minyak atsiri (Rostiana dkk., 2005). Kandungan minyak atsiri yang semakin tinggi diharapkan dapat meningkatkan aktivitasnya. Tujuan tersebut dapat tercapai jika didukung oleh minyak atsiri yang berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari sifat fisiko-kimia minyak atsri jahe merah yang tertera pada tabel 1.
Tabel 1. Sifat Fisiko-Kimia Minyak Atsiri Jahe Merah Berdasarkan Pemeriksaan di Lembaga Penelitian Tanaman Industri dan Balai Penelitian Kimia Bogor
Spesifikasi
Jahe Merah
Air (%)
81,0
Minyak (dry basis, %)
2,58 – 2,72
BD15
0,8998 – 0,9476
Indeks Bias 20o C
1,4841 – 1,4899
Putaran Optik
Tidak terlihat
Bilangan asam
3,6 – 9,22
Bilangan ester
31,2 – 62,5
Bilangan sesudah penyulingan
143,2
Kelarutan dalam alkohol 90%
1 : 1 clear
Sumber: Rukmana, 2004
Penelitian yang dilakukan oleh Irianto (2010) telah dilaporkan minyak atsiri rimpang segar jahe merah memiliki aktivitas antibakteri dan antibiofilm S.mutans paling potensial dibandingkan minyak atsiri rimpang temulawak, kencur, lempuyang wangi dan buah kapulaga. Parameter aktivitas antibakteri pada penelitian tersebut meliputi pengukuran aktivitas bakteriostatik dan bakterisida. Parameter aktivitas antibiofilm S.mutans meliputi perhitungan harga IC50 (aktivitas penghambatan pembentukan biofilm) dan EC50 (aktivitas degradasi biofilm). Hasil penelitian tersebut dilaporkan minyak atsiri rimpang jahe merah memiliki aktivitas bakteriostatik pada kadar 0,06% v/v dan bakterisida pada kadar 0,6% v/v. Hasil uji bioautografi dilaporkan senyawa yang diduga kuat aktif terhadap aktivitas antibakteri tersebut adalah terpenoid. Senyawa tersebut dilaporkan memiliki diameter hambatan paling besar diantara kelima sampel yang digunakan yaitu sebesar 6,0 mm. Minyak atsiri jahe merah dilaporkan memiliki IC50 dan EC50 yang tergolong rendah yaitu berturut-turut 0,011% v/v dan 0,013% v/v. Oleh karena itu, dari hasil penelitian tersebut timbul suatu gagasan tertulis mengenai suatu teknologi yang dapat mengolah minyak atsiri jahe merah menjadi suatu sediaan antiplak gigi yang dapat diterima oleh masyarakat Yogyakarta pada khususnya dan masyarakat Indonesia bahkan dunia internasional pada umumnya. Menurut data WHO hampir 80% penduduk dunia menggunakan obat herbal sebagai alternatif kesehatan.
Penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa penumpukan plak gigi dapat menyebabkan peradangan gusi atau gingivitis, maka peradangan tersebut merupakan radang yang non spesifik. Penggunaan senyawa antibakteri, antibiofilm, analgesik, dan antinflamasi dapat digunakan untuk mengatasi gingivitis. Senyawa gingerol yang terkandung dalam jahe merah telah dilaporkan memiliki efek analgesik pada mencit dan efek antiinflamasi pada tikus. Hal ini dikarenakan senyawa tersebut aktif menghambat produksi prostaglandin E2 dan siklooksigenase 2 (Setyarini, 2009). Oleh karena itu, jahe merah selain dapat digunakan sebagai antiplak gigi karena aktivitasnya sebagai antibakteri dan antibiofilm juga dapat digunakan untuk mengatasi penyakit gingivitis.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut maka akan sangat menarik jika bahan aktif minyak atsiri jahe merah dikemas dalam bentuk sediaan permen karet antiplak gigi. Kombinasi sediaan makanan dengan suatu bahan aktif yang berpotensi sebagai antiplak gigi akan menjadi metode yang kreatif dalam pemasaran dan menghasilkan produk pangan yang memenuhi kualifikasi kesehatan.

KESIMPULAN
1.      Produk permen karet antiplak gigi berbahan aktif minyak atsiri jahe merah dan penggunaan pemanis alami stevia akan mengurangi ketergantungan akan penggunaan bahan aktif antiplak sintetis.
2.      Implementasi pembuatan permen karet antiplak dilakukan melalui tahap penyulingan minyak atsiri, formulasi sediaan, uji klinis, aplikasi skala industri, dan pemasaran produk.
3.      Produk permen karet antiplak berbahan aktif jahe merah yang dipasarkan akan menjadi produk antiplak alami yang sehat, aman, dan prospek penjualan yang tinggi.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1978, Materia  Medika Indonesia, Jilid II, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Hlm 113.
Backer, C.W., & Van Den Brink, R.C.B., 1965, Flora of Java, Netherlands: Noordhoft-Groningen, Hlm 41-43, 51-53.
Dea, H., 2003, Daun Sirih sebagai Antibakteri Pasta Gigi, Kompas, tertanggal 24 September 2003.
Gildemeister, E., 1916, The Volatile Oils, Vol. 2, New York: John Wiley and Sons, Inc., Hlm 10.
Guenther, E., 1947, Minyak Atsiri, diterjemahkan oleh S. Ketaren, Jilid I, 143-145, 287, 296, Jakarta: Universitas Indonesia Press, Hlm 111.
Gunawan, D. & Mulyani, S., 2004, Ilmu Obat Alam (Farmakognosi), Jilid I, Jakarta: Penebar Swadaya, Hlm 110.
Guzman, C.C. & Siemonsma, J., S., 1999, Prosea, Netherlands: Backhuys Publisher Leiden, Hlm 13.
Hwang, J.K., 2004, Antibacterial Composition Having Xanthorrizol, United States Patent, 10(312): 8.
Irianto, I.D.K., 2010, Uji Daya Antibakteri dan Antibiofilm Minyak Atsiri Beberapa Jenis Tumbuhan Suku Zingiberaceae terhadap Streptococcus mutans secara In Vitro serta Profil Bioautografi, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada.
Li, X., Kolltveit, K.M., Tronstad L., & Olsen I., 2000, Systemic Diseases Caused by Oral Infection, Clin. Microbiol. Rev., 13: 547-558.
Loesche, W.J., 1996, Microbiology of Dental Decay and Periodontal Disease,  4th Ed., 4, Galveston: Univ. of Texas Medical Branch, Hlm 203.
Marsh, P., 2006, Dental plaque as a biofilm and a microbial community – implications for health and disease, BMC Oral Health, 6 (Suppl. 1): S14.
Nobile, C.J., & Mitchell, A.P., 2007, Microbial Biofilm : E Pluribus Unum, Current Biology, 17(10): R349-R353.
Ouhayoun, J.P., 2003, Penetrating the plaque biofilm: impact of essential oil mouthwash, J. Clin Periodontol, 30 (Suppl. 5): 10-2.
Pan, P.H., Finnegan, M.B., Sturdivant, L., & Barnett, M.L., 2003, Comparative antimicrobial activity of an essential oil and an amine fluoride/stannous fluoride mouthrinse  in vitro, J. Clin. Periodontol, 26(7): 474-476.
Pratiwi, R., 2005, Perbedaan daya hambat terhadap Streptococcus mutans dari beberapa pasta gigi yang mengandung herbal, Majalah Kedokteran Gigi (Dent. J.), 38(2); 64-67.
Rostiana, O, Bermawie, N., & Rahardjo, M., 2005, Budidaya Tanaman Jahe, Sirkuler No. 11, Bogor: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, Hlm 2.
Sariningrum, E., 2009. Hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap orang tua tentang kebersihan gigi dan mulut pada anak balita usia 3-5 tahun dengan tingkat kejadian karies di PAUD Jatipurno, Skripsi, Surakarta: Fakultas Farmasi UMS.
Schachter, B., 2003, Slimy Business-The Biotechnology of Biofilm, Nature Biotechnology, 21: 361-365.
Setyarini, H., 2009, Uji daya antiinflamasi gel ekstrak etanol jahe 10% (Zingiber Officinale Roscoe) yang diberikan topikal terhadap udem kaki tikus yang diinduksi karagenin, Skripsi, Surakarta: Fakultas Farmasi UMS.
Usmiati, S., & Yuliani, S., 2004, Pemanis Alami dan Buatan untuk Kesehatan, Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 10(1): 13 – 17.
Windarto, S., Adisusanto, W., & Ristanto, 1994, Pengaruh Minyak Jahe sebagai Bahan Antikaries Gigi terhadap Streptococcus mutans dan Lactobacillus acidophilus, Laporan Penelitian, Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada.